Selasa, 08 Januari 2019

Preman Masuk Pesantren

Halo teman" saya ingin SHARE sedikit cerita yang sangat menarik untuk di baca..selamat menikmati ya..jangan lupa di SHARE..


Prolog

Cerita ini berkisah tentang seorang Preman yang terpaksa harus bersembunyi di sebuah Pesantren Tradisional karena menjadi buronan polisi. Apa bila ada nama dan cerita yang mirip dengan pembaca, itu bukan disengaja. Cerita ini murni hasil imajinasi yang menggali sisi gelap manusia.

Jaka 22 tahun seorang perampok muda yang bersembunyi di sebuah pesantren menghindari kejaran
   polisi.                                                                                                               



Kyai Kholil 63 tahun pengasuh pondok pesantren yang zuhud. Orang zuhud tidak mau diphoto.


Nyai Jamilah, istri ke dua kyai Kholil yang cantik dan baru berusia 26 tahun.
                                                         

Dewi, sahabat masa kecil Jaka yang membantu Jaka melarikan diri ke Pondok Pesantren tempat saudara sepupunya Nyai Jamilah.


Shinta santriwati cantik, judes, cerdas dan banyak akal.


Nabila, santriwati lugu yang polos namun masa lalunya pahit.


Kyai Amir anak dari Mbah Kholil.

Ahmad, tangan kanan Kyai Amir.





1. Pelarian Seorang Perampok



“Jaka, ada polisi...!” seru sahabatku si Tompel gugup melihat beberapa orang polisi menghampiri ke arah kami dari kejauhan. Kewaspadaanku langsung meningkat, siapa yang sudah menghianatiku? Pasti Herman yang tertangkap waktu kami melakukan perampokan yang gagal total, aku dan Tompel berhasil melarikan diri, sedangkan Herman tertangkap sedangkan Jek tertembak mati, itu kabar yang sempat aku lihat di TV 

“Tenang jangan gugup.” Kataku berusaha tenang. Otakku berpikir keras untuk menyelamatkan diri dari polisi yang pasti sudah mengepung daerah ini menutup ruang pelarian kami, bukan berarti tidak ada celah untuk melarikan diri. Aku melihat ke arah Cisadane yang sedang banjir, hanya itulah satu satunya cara untuk melarikan diri dari kepungan para polisi itu. Terlalu berbahaya berenang di aliran Sungai Cisadane yang sedang meluap, nyawa taruhannya.

Tapi aku sangat mengenal Cisadane karena aku besar di sini dan Cisadane menjadi sudah menjadi sahabat akrab sejak aku kecil, bersama dengan teman temanku, kami selalu meloncat dari Jembatan saat Cisadane sedang banjir. Dengan berbekal ban mobil bekas, kami berenang mengikuti aliran sungai Cisadane sejauh dua kilometer. Hanya Tompel yang tidak pernah mempunyai cukup keberanian berenang di sungai Cisadane yang sedang banjir dan artinya aku tidak bisa memaksa Tomp terjun ke Cisadane untuk melarikan diri.

"Jak, bagaimana ini?" tanya Tompel semakin panik melihat tiga orang polisi semakin dekat. Aku semakin yakin mereka akan menangkap kami setelah perampokan yang kami lakukan beberapa hari yang lalu dan salah satu anggota kami tertangkap polisi sementara satunya lagi tewas tertembak peluru lanas.. Kembali aku melihat Cisadane dan melihat gelondongan kayu cukup besar terbawa hanyut bisa aku gunakan untuk berenang di aliran sungai Cisadane yang meluap, tapi bagaimana nasib Tompel?

Dia sahabat karibku sejak kecil yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Suka dan duka sudah kami lewati bersama dimulai dari mencuri pentil mobil sebagai kenakalan anak anak meningkat mencuri kaca spion saat kami sekolah SMP, hingga akhirnya kami menjadi pencuri toko sepulangnya aku dari Pesantren. Hingga akhirnya kami kenal dengan Herman seorang perampok yang terkenal, dari situlah aku beralih profesi menjadi seorang perampok spesialis nasabah Bank. Beberapa hari yang lalu kami merampok seorang nasabah yang melawan sehingga Jek terpaksa membacok orang itu hingga tewas, polisi yang ada di tempat kejadian langsung menembak Jek dan berhasil menangkap Herman. Sedangkan aku dan Tompel bisa menyelamatkan diri.

"Diam di tempat, jangan bergerak..!" teriak Polisi sambil menodongkan pistol ke arah kami dari jarak dua meter, aku bergerak mundur menunggu saat yang tepat untuk meloncat ke Cisadane yang berjarak dua meter dari tempatku berdiri.

"Jangan tembak...!" teriak Tompel langsung tiarap tanda menyerah. Refleks aku meloncat ke arah sungai tanpa berpikir panjang,. Tekadku sudah bulat, lebih baik mati terbawa hanyut dari pada harus mendekam di Penjara. Aku terperangkap dalam arus air yang sangat deras, sekuat tenaga aku berusaha mengapung ke permukaan air yang sangat kotor. Sekilas aku melihat ke arah tempatku meloncat sudah sangat jauh sehingga, aku berenang berusaha mengejar gelondong kayu besar yang sudah aku incar sejak tadi.

Ternyata tidak semudah seperti yang aku pikirkan, aku harus berjuang keras menggapainya mengikuti arus air yang sangat deras dan dipenuhi sampah, beberapa kali aku gagal menggapai gelondong kayu yang berputar terbawa arus hingga akhirnya aku berhasil meraih gelondong kayu besar setelah tenagaku terkuras dan beberapa kali aku meminum air yang dipenuhi sampah. Aku memeluk gelondongan kayu agar tidak tenggelam menunggu gelondongan kayu terhempas ke sisi. Kesempatan yang tidak aku sia siakan, aku meraih akar pohon yang menjulur. Dengan bersusah payah aku naik melalui tebing cadas hingga akhirnya aku sampai ke atas. Aku merebahkan tubuhku yang letih di atas tanah yang agak datar. Mataku terpejam menikmati keberhasilanku melewati maut.

Entah seberapa jauh aku terbawa arus sungai, yang pasti sudah sangat jauh. Untuk sementara aku aman. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tempat ini sudah tidak aman, aku harus mencari persembunyian yang lebih aman. Aku mengambil dompetku yang basah kuyup dan mengeluarkan beberapa lembar 100.000 yang ikut basah, aku meletakkan satu demi satu 10 lembar uang 100.000 agar cepat kering. Lalu aku mengambil hp ku yang mati karena terkena air, aku ragu bisa menyelamatkan HP yang mati.

Setelah aku menjadi lebih tenang, baru aku sadar betapa baunya pakaianku yang kotor, aku tidak mungkin pergi dari tempat ini dengan keadaan seperti ini, akan menarik perhatian orang dan itu sangat tidak menguntungkan. Polisi pasti sudah mulai menyisir aliran sungai Cisadane, berada di tempat ini juga sangat berbahaya. Aku memperhatikan sekelilingku, ternyata aku berada di tanah lapang yang luas ditumbuhi rumput liar. Sejauh mata memandang aku tidak melihat ada rumah, tanah lapang ini dikelilingi oleh pohon pohon tinggi. Entah sekarang aku berada di mana.

Setelah aku merasa tubuhku lebih segar, aku memasukkan uang ke saku sedangkan hp aku buang ke sungai. Hari mulai gelap, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Aku berjalan mengikuti jalan setapak yang membawaku ke jalan raya desa.

Aku menarik nafas lega setelah kakiku menginjak jalan aspal yang keras, aku seperti kembali ke dunia. Sudah saatnya aku mengatur rencana pelarianku sebelum polisi menemukanku, aku harus berlari jauh dari kota Bogor yang sudah membesarkanku sebagai perampok paling ditakuti.

Saat sedang asyik berpikir sambil berjalan di pinggir jalan yang sepi, sebuah motor berhenti tepat di sampingku, membuatku waspada dan siap melakukan serangan mematikan.

"Jaka, cepat naik...!" kata suara yang sudah aku kenal walau aku tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup helm. Tanpa berpikir panjang aku naik ke boncengan motor yang langsung melaju dengan cepat seperti sedang dikejar hantu.

Dewi, bagaimana dia bisa menemukanku di tempat ini? Rasanya bukan sebuah kebetulan, aku sangat mengenalnya, kami tumbuh dan besar di lingkungan yang sama, bahkan aku adalah pria yang beruntung mendapatkan keperawanannya saat kami sedang mabuk. Tanpa ikatan, kami melakukannya atas dasar suka sama suka dan Dewi sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Bahkan secara tidak langsung, akulah yang menjerumuskannya menjadi seorang pelacur kelas atas. Dia adalah primadona di tempat mangkalnya dengan tarif satu juta permalam.


"Kamu harus secepatnya meninggalkan Bogor, kamu sudah jadi DPO paling dicari karena korban yang mati terbunuh adalah anak seorang jenderal Polis." kata Dewi setibanya di rumah kontrakan yang jauh dari tempat tinggalku. Daerah sini terkenal dengan tempat prostitusinya.

"Kamu dapat info dari mana?" tanyaku heran. Kenapa Dewi bisa tahu secepat itu.

"Om om langgananku semalam nyerocos waktu mabok, dia seorang perwira menengah polisi, sekarang kamu mandi dulu, nanti aku ceritain lagi." kata Dewi mendorongku masuk kamar mandi yang tidak ada pintunya. Tanpa protes aku segera mandi membersihkan tubuhku yang kotor sehabis berenang di Sungai Cisadane yang kotor membawa sampah dari berbagai penjuru kota Bogor.

"Ini handuk..!" kata Dewi memberikanku handuk tanpa merasa risih melihat tubuhku yang telanjang karena dia sudah terbiasa melihatku telanjang bahkan dia sangat tergila gila dengan keperkasaan kontolku yang membuatnya meraih orgasme berulang ulang, dia rutin minta jatah dariku seminggu sekali. Hal yang belum pernah didapatkan dari para pelanggannya.

"Kamu nggak pengen?" tanyaku sambil menggerak gerakkan kontolku yang masih tertidur, berusaha memancingnya agar terbangun dari tidurnya. Setelah ketegangan yang kualami, rasanya menikmati jepitan memek Dewi bisa membuatku rileks.

"Nggak ada waktu buat ngentot, kamu harus secepatnya pergi dari sini sebelum polisi datang." jawab Dewi, wajahnya terlihat sangat tegang sehingga mengabaikan kontolku yang bergerak perlahan.

"Gimana caranya kamu bisa nemuin aku?" tanyaku penasaran. "Aku pake baju apa?" tanyaku sadar tidak mungkin memakai pakaianku yang tadi.

"Pake bajuku, ada beberapa celana jeans yang aku beli buat kamu tapi belum sempet aku kasih ke kamu. Tadi aku sempat melihat kamu loncat ke Cisadane, aku pikir kamu nggak akan bisa mati begitu saja di Cisadane, kamu sudah biasa mandi di Cisadane waktu banjir." kata Dewi sambil bergerak cepat membuka lemari pakaian dan mengambil kaos serta celana jeans yang langsung diberikan kepadaku yang berdiri di belakangnya.

"Masa aku nggak pake cd !" kataku memegang pakaian yang diberikan Dewi. Aku tidak biasa pakai CD, membuat kontolku tidak nyaman.

"Pake CD aku..!" kata Dewi memberikan CDnya, aku ragu menerimanya.

"Kamu beneran nggak mau ngentot?" tanyaku lagi, berharap bisa menikmati tubuhnya sebelum pergi.

"Please, kamu harus pergi sebelum polisi datang. Aku punya kenalan yang nikah sama kyai pengasuh pesantren di daerah Jawa Tengah, untuk sementara kamu tinggal di situ sampai situasinya aman." kata Dewi.

"Masa aku mesti tinggal di pesantren?" tanyaku heran, aku seorang perampok terkenal harus masuk pesantren, sungguh tempat yang membuatku seperti hidup dalam penjara. Orang tuaku pernah memasukkan aku dua kali ke Pesantren karena kenakalanku. Di Pesantren pertama aku sempat bertahan selama satu tahun sebelum kabur karena tidak betah. Setelah lulus SMA, kembali aku masuk Pesantren selama hampir dua tahun sebelum akhirnya diusir karena sering ngintip santriwati mandi bahkan kesalahanku yang paling fatal adalah berbuat mesum dengan seorang janda muda yang berada dekat lingkungan pesantren. Hampir saja aku dihakimi massa sehingga kalau saja aku tidak berhasil melarikan diri.

"Hahahaha...!" Dewi tertawa terbahak bahak membuatku merasa heran karena tidak ada hal lucu yang harus ditertawakan.

"Kenapa kamu ketawa?" tanyaku bertolak pinggang di hadapannya. Apa dia menertawakan kontolku yang berdiri tegak di balik celana dalam Dewi yang dengan sangat terpaksa aku pakai. Dan saat aku menyadari apa yang membuat Dewi tertawa, tanpa dapat kucegah aku ikut tertawa geli karena memakai celana dalam Dewi yang transparan, bahkan hampir robek karena tonjolan kontol ku yang sudah tegak.

"Buru, pakai baju. Aku takut polisi akan menemukanmu di sini." kata Dewi memasukkan beberapa kaos miliknya ke dalam ransel dan juga dua buah celana jeans yang memang sengaja dibeli untukku.

Masa bodoh dengan CD Dewi yang terpaksa aku pakai. Setidaknya aku merasa sedikit lebih nyaman daripada harus tidak memakai CD sehingga kontolku akan tergesek celana jeans yang kasar dan bisa membuat kontolku lecet karena tergesek celana jeans yang kasar..

"Kamu mau ke mana?" tanyaku heran melihat Dewi memasukkan pakaiannya ke dalam koper satunya lagi berikut perlengkapan wanita lainnya.

"Aku akan mengantarmu sampai Karawang dari sana kamu harus melakukan perjalanan sendiri ke Jawa Tengah." jawab Dewi.

"Jangan, aku bisa pergi sendiri." kataku menolak kebaikan Dewi, terlalu berisiko dia mengantarku sampai Karawang. Aku adalah seorang DPO paling dicari saat ini.

"Kamu tidak bisa pergi sendiri, razia ada di sekeliling kota Bogor untuk menangkapmu. Ayo kita berangkat." kata Dewi membuatku harus mengalah dengan keinginanya. Aku percaya dengan semua yang dikatakan Dewi, dia adalah sahabat terbaikku dan tidak akan pernah mengkhianatiku.

"Aku yang bawa motor..!" kataku mengambil kunci kontak dari tangan Dewi, aku lebih tahu jalan tikus ke arah Karawang bahkan sangat hafal karena aku selalu melakukan survei pelarian setiap kali akan melakukan operasi.

"Kita cari penginapan dulu..!" kataku setelah sampai Karawang, perjalanan yang memakan waktu hampir empat jam karena aku sengaja menghindar dari jalan raya utama yang lebih dekat.

"Kamu harus meneruskan perjalanan ke Jawa Tengah malam ini juga." kata Dewi terlihat sangat tegang. Wajar dia belum terbiasa menghadapi situasi seperti ini.

"Kita cari penginapan, terlalu beresiko melakukan perjalanan malam dengan bus, orang akan lebih mudah menghafal orang yang berada di sekelilingnya sehingga polisi bisa melacak tujuanku." kataku berargumen.

"Tapi tidur di penginapan juga berisiko bahkan resikonya lebih besar." apa yang dikatakan Dewi benar dan aku tidak bisa menyangkalnya.

"Kalau begitu kita langsung ke Jawa Tengah pakai motor." kataku mengambil jalan tengah.

"Gila kamu, aku tidak biasa bawa kendaraan jarak jauh. Dari Karawang pulang ke Bogor saja aku bingung." kata Dewi protes membuatku menyadari kebodohanku sudah melibatkannya terlalu jauh ke dalam masalahku.

"Begini saja, sampai Cirebon motor kamu paketin ke Bogor, kamu naik bus atau kereta." kataku setelah berhasil menemukan solusi yang kuanggap terbaik.

"Oke kalau begitu." jawab Dewi setuju. Kami kembali naik motor, aku sengaja menjalankan kecepatan motor dalam batas yang wajar untuk menghindari perhatian orang.

============

"Ngapain kita ke Penginapan? Terlalu bahaya." protes Dewi begitu aku menghentikan motor di pekarangan sebuah penginapan melati di daerah Cirebon.

"Kita sudah jauh dari Bogor. Tidak mungkin ada yang curiga." kataku meyakinkan Dewi. Aku harus beristirahat satu atau dua jam untuk menyegarkan tubuhku. Sekarang sudah jam 4 pagi.

"Kamu yakin?" tanya Dewi, ketegangan di wajahnya belum hilang sedikitpun.

"Yakin, Polisi pasti masih mencariku di sepanjang sungai Cisadane, bahkan mungkin mereka sudah menyangka aku mati. Lagipula kamu tidak mau ngasih aku kenang kenangan sebelum di Pesantren?" tanyaku sambil meremas pantat Dewi yang padat berisi.

"Sinting, dalam situasi seperti ini kamu masih mikirin memek." omel Dewi menarik tanganku masuk penginapan menuju meja resepsionis. Dewi segera membayar sewa kamar dan juga memberikan KTPnya sebelum aku sempat melakukannya. Akh menerima kunci kamar yang diberikan resepsionis dan menggandeng tangan Dewi masuk kamar sebelum tenagaku yang tersisa benar benar habis dan tidak mampu menikmati memek Dewi sebelum aku masuk Pesantren.

"Gila, nggak sabar amat..!" protes Dewi saat sudah berada di dalam kamar aku langsung memepet tubuhnya ke dinding sambil menciumi lehernya yang jenjang dan berdebu. Dua ransel yang kami bawa kulempar sembarangan.

"Aku sudah nggak tahan, di Pesantren aku tidak mungkin dapat memek.." kataku berusaha melepaskan jaket yang dikenakan Dewi.

"Alah, bohong banget. Dulu di Pesantren kamu hampir digebukin massa gara gara kepergok ngentot sama janda kampung, makanya kamu kabur takut disuruh nikahi janda, bukannya diusir." jawab Dewi membiarkan jaket yang dipakainya lepas, tidak ada penolakan saat aku meremas payudaranya yang padat sambil menciumi lehernya yang jenjang.

Aku tidak menggubris perkataan Dewi yang tahu semua rahasiaku karena tidak pernah ada rahasia di antara kami selama ini. Tidak sabar aku menarik lepas tanktop yang dipakainya, juga BH warna krem yang terlihat kekecilan tidak mampu menampung payudaranya yang besar. Payudara yang tidak akan pernah aku nikmati selama aku di Pesantren.

"Harusnya kamu bertanggung jawab sudah merenggut kesucianku sehingga aku menjadi seorang pelacur." kata Dewi yang sudah puluhan kali diulangnya saat aku melucuti pakaiannya dan aku sudah terbiasa dengan perkataannya itu. Aku lebih asyik mempermainkan payudaranya dengan rakus, menjilati permukaannya yang sangat halus sehingga aku bisa melihat urat uratnya yang abstrak tergambar indah.

"Jak, kenapa kamu selalu bisa membuatku rela menjadi budak seksmu..!" ritih Dewi menggeliat menikmati sentuhan lidahku pada permukaan payudaranya, menghisap putingnya yang semakin mengeras.

Tanpa melepaskan payudaranya, aku membuka celana jeans Dewi, dengan kasar aku menurunkannya agar tanganku leluasa menyentuh memeknya yang tidak pernah ditumbuhi bulu seperti pada kebanyakan wanita pada umumnya. Demi memeknya pula aku rela melepaskan keasikanku pada payudaranya yang indah. Aku berjongkok melepaskan celana jeans dan juga CD Dewi yang membiarkan perbuatanku.

"Kamu tidak pernah berubah, selalu memanfaatkan tubuhku." kata Dewi menaikkan pahanya di pundakku sehingga aku bisa dengan mudah menjilati memeknya, tidak peduli sudah puluhan kontol yang mencicipi kenikmatannya, sudah puluhan mili pejuh yang tertampung di dalamnya. Tapi aku tidak pernah peduli dengan hal itu, bagiku memek Dewi adalah yang terenak di antara pelacur lain yang sering kali kunikmati saat Dewi sedang melayani tamunya.

"Terusssss ennnak, kamu yang terbaik...!" kata Dewi berpegangan pada rambutku yang asik menjilati memeknya yang sudah semakin basah sehingga aku bisa meminum cairannya sebagai pelepas dahaga, cairan yang mengandung suplemen yang menyegarkan tubuhku.

Seperti musafir yang dahaga, aku terus menyeruput cairan memek Dewi yang berjuang keras menjaga keseimbangannya. Mili demi mili, aku ingin menghabiskan semuanya hingga tidak ada lagi yang tersisa.

"Akkku nggak tahannnnn kelllluar...!" Dewi menjerit dan menjambak rambutku, tubuhnya limbung dan aku tidak mampu menahannya sehingga aku terjatuh, wajahku tertindih memek Dewi membuatku tidak bisa bernafas. Aku berusaha mendorong pantat Dewi agar bisa bernafas.

"Maaf...hahahahaha, enak banget. Kamu yang terbaik, belum ada yang sehebat kamu." kata Dewi beranjak dari wajahku. Dia menarik tanganku agar berdiri.

"Gila, badan kamu makin berat." kataku berdiri memperhatikan bentuk tubuh Dewi yang semakin semok membuatnya semakin sexy menurutku dibandingkan dulu.. Mungkin pengaruh alat kontrasepsi yang dipakainya.

"Biarin, yang penting aku masih tetap sexy." jawab Dewi menarik jaketku dengan kasar berusaha membukanya. Kasar dan agresif itu yang aku suka dari Dewi, dia tidak pernah berpura pura saat berada di hadapanku, pengalaman hidup yang membuatnya seperti itu.

"Susah amat..!" gerutu Dewi saat dia berusaha membuka celana jeans yang kekecilan, siapa suruh dia salh memilih nomer celana pada akhirnya dia sendiri yang kerepotan. Aku membantu Dewi melepaskan celanaku.

"Hahahahaha, celana dalamku bisa robek disodok kontol kamu...!" kata Dewi membuatku ikut tertawa. CD Dewi terlalu tipis untukku, tapi aku tidak punya pilihan lain selain memakainya. Aku menarik nafas lega saat Dewi meloloskan CDnya yang aku pakai.

"Harusnya kontol kamu ditato, jangan cuma dada dan punggung kamu saja." kata Dewi menciumi batang kontolku dengan rakus, menjilati batangnya yang kekar dan menakutkan sebagian besar wanita yang melihatnya. Terlalu besar dan panjang sehingga ada beberapa Pelacur yang menolak melayaniku dengan alasan takut memeknya semakin longgar.

"Dew, kontolku kegedean ya?" tanyaku heran, kenapa Dewi justru sangat menikmati kontolku, bahkan dia bisa memasukkan separuh kontolku ke dalam mulutnya.

"Iya, kontol kamu terlalu besar bikin aku ketagihan." jawab Dewi mengulum kontolku dan bergerak mengocoknya walau menurutku rasanya tidak senikmat saat berada dalam jepitan memeknya. Tapi ternyata dugaanku saat ini salah, aku hampir saja menembakkan pejuhku, sesuatu yang menurutku sangat memalukan.

"Udahhhh gilaaaa, lepassssssin....!" kataku berusaha mendorong kepala Dewi yang terus mengocok kontolku.

"Aku pengen minum pejuh kamu sebagai kenang kenangan sebelum kamu masuk pesantren. Please!" kata Dewi menatapku penuh harap agar keinginannya dikabulkan.

============

"Ingat, cari alamat Mbah Kholil, jangan nanyain Nyai Jamilah." kata Dewi sebelum aku naik Bus yang akan membawaku ke Jawa Tengah.

"Aku tahu, nggak usah diajarin." jawabku merasa lucu dengan peringatan Dewi yang terus diulang ulangnya sejak di penginapan.

"Aku tahu sifat kamu, setelah lihat photo Nyai Jamilah, kamu pasti akan lebih ingat nama Nyai Jamilah daripada Mbah ( Kyai ) Kholil." jawab Dewi ketus membuatku tertawa geli. Apa yang dikatakannya benar, lebih mudah mengucapkan nama Nyai Jamilah daripada Mbah Kholil pimpinan pondok pesantren yang kharismatik.

Aku segera naik bus yang mulai berjalan perlahan, di pintu bus aku melambaikan tangan ke arah Dewi sebagai salam perpisahan. Masih banyak kursi kosong sehingga aku bisa bebas memilih tempat duduk yang aku suka dan aku memilih duduk dekat jendela yang bisa aku buka lebar.

Pesantren, nama yang selalu menjadi momok buatku, kenapa sekarang aku harus kembali masuk pesantren mempelajari berbagai macam ilmu dari kitab kuning. Untung aku masih ingat semua pelajaran di pesantren yang terpaksa terus aku hafal untuk menyenangkan hati kedua orang tuaku.

"Ke mana Mas?" tanya kernet yang menagih ongkos.

"Kendal, Pak." kataku mengatakan tempat tujuanku dan setelah kenek Bus meninggalkanku, aku tertidur dengan lelapnya setelah sejak kemarin aku nyaris tidak tidur, bahkan di penginapan aku justru mengumbar nafsu birahi dengan Dewi sebelum akhirnya kami memaketkan motor dewi dan juga belanja pakaian, beberapa stel baju koko dan sarung serta peci seperti halnya pakaian para santri. Aku juga membeli beberapa kitab kuning, Qur'an, tasbih, pulpen dan buku untuk mencatat.

"Mas, sudah mau sampai Kenda. !" kata kenek membangunkanku.

"Iyaa..!" kataku sambil menggeliat berusaha merenggangkan otot otot di tubuhku. Turun dari bus aku mencari wc umum untuk berganti pakaian dengan pakaian yang aku beli di Cirebon, baju koko dan sarung serta peci, penampilanku sekarang benar benar seperti seorang Santri.

Singkat cerita akhirnya aku sampai di tempat yang aku tuju, sebuah pondok pesantren salaf, aku tidak menemui kesulitan saat mencari alamat Mbah Kholil, semua orang mengenalnya. Sampai di rumah Mbah Kholil, Mbah Kholil sendiri yang menyambut kedatanganku.

"Silahkan duduk...!" Mbah Kholil mempersilahkanku duduk di tikar yang digelar di atas lantai.

"Terimakasih Mbah, saya Zakaria dari Bogor, niat kedatangan saya ingin mondok di sini." kataku tidak berani memandang wajah Mbah Kholil yang tenang, ciri khas yang bisa aku lihat dari orang berilmu.

"Akhmad, ada tamu." Mbah Kholil berkata pada seseorang yang sempat aku lihat sedang duduk di dalam.

"Inggih Mbah..!" jawab orang itu.

"Dari mana Nak Zakaria tahu tentang Pesantren ini?" tanya Mbah Kholil.

"Dari Bu Aminah tetangga saya, Mbah." jawabanku sesuai dengan apa yang disuruh oleh Dewi agar mengatakan aku diberi tahu pesantren ini dari Ibunya yang bernama Aminah, Bibi dari istri muda Mbah Kholil yang bernama Nyai Jamilah (Nyai nama panggilan istri seorang Kyai. Sedangkan Mbah adalah sebutan untuk Kyai Sepuh ).

"Och, bagaimana kabar Bi Aminah? Nyai, kita kedatangan tamu dari Bogor, tetangga Bi Aminah yang akan mondok di sini." kata Mbah Kholil memanggil istrinya, suaranya lantang tanpa berteriak.

"Inggih Mbah.!" kata suara merdu menyahut dari dalam, dari suaranya saja sudah membuatku merasa nyaman, apa lagi melihat wajahnya. Apakah wajahnya secantik seperti yang kulihat di photo atau malah sebaliknya. Zaman sekarang, kecantikan di photo bertolak belakang dengan kecantikan aslinya. Bisa dipastikan, dia lebih cantik di photo.


"Siapa tamu dari Bogor, Mbah?" tanya seorang wanita bersuara merdu yang muncul dari dalam membuatku melotot tidak percaya, kecantikan yang dimilikinya mengalahkan kecantikan di photo yang aku lihat di ho Dewi. Kalau ada bidadari di alam nyata, mungkin dialah orangnya.

"Jaga pandanganmu yang akan menuntunmu ke arah zina." kata Mbah Kholil membuatku menunduk malu.

Bersambung

1 komentar: